Jumat, 17 Juni 2011

Penyusutan Pemahaman Leksikon Bahasa Tradisi Lisan Pada Upacara Adat: Kajian Ekolinguitik Pada Komunitas Remaja di Padangsidimpuan Oleh: Yusni Khairul Amri STKIP "Tapanuli Selatan" Padangsidimpuan

Jurnal

PENYUSUTAN PEMAHAMAN LEKSIKON BAHASA
TRADISI LISAN PADA UPACARA PERKAWINAN
ADAT TAPANULI SELATAN
”Kajian Ekolinguistik pada Komunitas Remaja di Padangsidimpuan”
Oleh: Yusni Khairul Amri
STKIP "Tapanuli Selatan" Padangsidimpuan
Nort Sumatera
Masyarakat Tapanuli Selatan merupakan masyarakat yang masih menjalankan upacara adat untuk berbagai keperluan, karena komunitas tersebut masih meyakini bahwa adat istiadat memiliki sistem yang teratur dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan, misalnya, selalu digunakan perangkat adat yang diungkapkan menggunakan media bahasa tradisi (adat) pada umumnya menggunakan media bahasa. Bahasa adat merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh komunitas pemakainya yang terwujud melalui leksikon-leksikon bahasa adat.
Dilihat dari leksikon bahasa sebagai leksikon adat, bahasa merupakan sistem isyarat “language is a system of codes” yang digunakan oleh kelompok sosial berdasarkan konvensi antara-anggota kelompok masyarakat dalam satu kesatuan adat. Leksikon bahasa merupakan sesuatu yang konvensional bagi komunitasnya. Isyarat-isyarat yang digunakan harus merupakan kesepakatan bersama dari warga komunitas bahasa yang diejawantahkan dengan leksikon adat.
Komunitas penutur bahasa adat menggunakan tradisi lisan berwujud leksikon atau ungkapan yang sama untuk menyebut suatu keadaan atau ungkapan yang sama untuk menyebut sesuatu keadaan atau untuk penamaan sesuatu hal yang disebabkan oleh keperluan, keadaan di lingkungannya.
Bahasa isyarat (silent language, gesture) memiliki substansi utama yaitu gerak tubuh yang memberikan isyarat bermakna (non-vocalic, non-orthographic) namun dalam berkomunikasi, bahasa isyarat dilihat dari pengiriman isyarat (code-sender) dan penerima isyarat (code-receiver). Menurut Sapir (1921), Bahasa adalah murni kemanusiaan (purely humane) dan merupakan jalur non-instingtif (non-instinctive network) untuk mengkomunikasikan ide, emosi, kehendak, harapan dan cita-cita dengan memanfaatkan secara sengaja sistem yang dihasilkan oleh isyarat-isyarat bahasa dan kebahasaan (language and linguistic codes).
Sejalan dengan Sapir, Halliday (1978) menyatakan bahwa bahasa merupakan semiotik sosial. Semiotik sosial menurut Sinar (2003) adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik, yang terwujud dengan penggunakan dengan melalui leksikon pada upacara adat berbentuk tradisi lisan.
Tradisi lisan pada upacara adat di Tapanuli Selatan digunakan untuk berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (local wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, begitu pula pada upacara adat perkawinan.
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang . Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat sebagai pengetahuan pada masa sekarang dan akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan.
Adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan pada khususnya dan budaya Batak pada umumnya melakukan upacara perkawinan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan di Tapanuli Selatan merupakan kegiatan yang utama dalam melakukan upacara perkawinan adat istiadat Tapanuli Selatan seperti: martahi, panaek gondang, marosong-osong, maralok-alok, magupa, haroan boru, malehen mangan, dan lain-lain.
Upacara adat perkawinan merupakan budaya yang diyakini masyarakat pemakainya dan sebagai bagian yang harus dijalankan bila melakukan kegiatan upacara adat perkawinan, walaupun besar kecilnya upacara adat perkawinan disesuaikan dengan kemampuan finansial pemilik hajat perkawinan tersebut, oleh karena itu besar kecilnya upacara adat perkawinan tidak mengurangi nilai-nilai pelaksaan upacara adat perkawinan tersebut.
Upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan dalam pelaksanaan tradisi tersebut, sebagian besar dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Maka tadisi lisan tersebut tidak dapat dipisahkan dari awal hingga akhir upacara adat perkawinan tersebut. Tetapi tradisi lisan pada upacara perkawinan adat tersebut mulai mengalami kemunduran pengetahuan tentang leksikon bahasa tradisi lisan, yang disebabkan oleh faktor agama, financial, ekologi lingkungan, dan pemahaman masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara adat perkawinan.
Sehingga harus diakui bahwa upaya pengembangan pengetahuan masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara adat istiadat, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan sehingga tradisi lisan pada upacara adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan/ Mandailing kian terabaikan padahal mengandung nilai-nilai adat dan tradisi yang tidak dipelajari.
Adat istiadat mengandung nilai-nilai adat tradisi yang kaya makna itu, karena tidak pernah dipelajari akhirnya menjadi terlupakan. Akibatnya generasi muda Mandailing/ Tapanuli Selatan pun berpaling kepada nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (H. Pandapotan Nasution, 2005; 483).
Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan sinar (2010: 70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada diambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”, bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”.
Begitu pula pemikiran H. Pandapotan Nasution, “Tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat digusur demi pembangunan.(2005: 485).
Dari beberapa teori yang menjadi rujukan dalam penelitian ini maka penelitian Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna. Sejalan dengan itu Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan leksikon sebagai kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa (2001: 805).
Sibarani menyebutkan, “Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantic, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa.” (1997: 4).
Penjelasan di atas dapat dirarik kesimpulan leksikon yaitu, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya atau perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa suatu bahasa

2.1 Ekolinguistik
Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Jadi pendekatan ekolinguistik digunakan dalam penelitian ini, karena konsep-konsep ekologis dalam bahasa adat istiadat Tapanuli Selatan akan tersingkap. Lebih luas lagi, konsep-konsep sosialkultural, historis demografis, filosofis religius, dan kolektif keetnikan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan secara keseluruhan akan tergambar.
Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel (1834- 1914). Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, man’s immediate suroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi sebagai berikut.
Ecology is the study of plants and animas, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments-the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.

Pengertian ekologi bahasa menurut Haugen, adalah
Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1972, dalam Peter, 1996: 57).

Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi bahasa merupakan interaksi antara bahasa yang sudah ada dan lingkungannya (masyarakat dan komunitas yang memakai bahasa tersebut atau sosiolinguistik). Sehingga parameter ekologis seperti keterhubungan, lingkungan lingkungan dan keberagamannya. Degradasi lingkungan diangkat menjadi kepedulian lingustik, yang berimplikasi pendekatan yang berbeda yang menjembatani studi bahasa dengan lingkungan dijadikan suatu kesatuan walaupun masih ada perbedaan pada ekolinguistik.
Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000), mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.
Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology’.

Demikian pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan
Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (p.2)

Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan bahwa
ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.

Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap obyek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas.
Sudut pandang mereka bahwa, teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi/ pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial.
Kajian ekolinguistik menghubungkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis dalam bahasa hubungan ketiga model tersebut dapat digambarkan menurut model Bang & Døør’s (1995: 47) dialoque Model dalam Jeppe Bundsgaard & Sune Steffensen (2000: 10): Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat daerah di Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan dan terkikis. Hal itu karena lingkungan sebagai sumber kehidupan begitu pula berubahnya fungsi lingkungan yang menjadi sentra kehidupan, perekonomian, lahan pemukiman, sosial.
Begitu pula faktor agama, financial, dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai mengalami dekadensi agar dianggap lebih sederhana dan simpel. Akibat hal tersebut, banyak leksikon lingkungan tidak akan dipergunakan lagi karena hal tersebut telah hilang seiring dengan hilangnya lingkungan dan faktor lainnya.
Begitu pula pada tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis terjadi penyusutan pemahaman leksikal remaja terhadap masuknya leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 272 kata. Analisis data meliputi 16 kelompok yaitu: 1) leksikon tumbuh-tumbuhan; 2) leksikon alam; 3) leksikon alat musik; 4) leksikon pronomina; 5) leksikon pronominal kekerabatan; 6) lesikon pronomina raja/ adat; 7) leksikon bahasa adat; 8) leksikon ukuran waktu; 9) leksikon ukuran tempat dan arah; 10) leksikon penghitungan/ angka; 11) leksikon ukuran sifat; 12) leksikon ukuran bentuk; 13) leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan; 14) leksikon hewan; 15) leksikon warna; 16) leksikon tumbuhan pada frase dan klausa.
Penyusutan pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara adat Tapanuli Selatan dan telah diujikan kepada responden remaja di setiap kecamatan Kota Padangsidimpuan, yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Rata-rata penguasaan pemahaman remaja terhadap konsepsi makna leksikal hanya 42,42%. Penyusutan 23 leksikon tumbuh-tumbuhan sebesar 57,58%.
2. Pemahaman leksikon alam sebanyak 3406 orang dari 6960 jawaban yang seharusnya, dari 29 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman makna leksikal alam hanya 48,93%. Dengan demikian, penyusutan leksikon alam di Padangsidimpuan sebesar 51,07%.
3. Leksikon alat musik tradisional yang dapat dipahami 240 orang saja dari 1920 jawaban remaja yang seharusnya, dari 8 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan hanya 12,50%, dengan penyusutan Leksikon alat musik tradisional di Padangsidimpuan sebesar 87,50%.
4. Keseluruhan Leksikon pronomina yang dipahami konsepsinya sebanyak 3044 orang dari 5520 jawaban yang seharusnya, dari 29 kosakata rata-rata penguasaan remaja hanya 55,14%, penyusutan Leksikon pronomina di Padangsidimpuan sebesar 44,86%,
5. Konsepsi leksikon pronomina kekerabatan yang dipahami sebanyak 2365 dari 5280 jawaban. Leksikon pronomina kekerabatan hanya 22 kosakata, dengan rata-rata penguasaan hanya 44,79, penyusutan Leksikon pronomina kekerabatan di Padangsidimpuan sebesar 55,21%.
6. Pemahaman leksikon pronomina raja/ adat dapat dipahami konsepsinya sebanyak 1702 orang saja dari 4560 jawaban yang seharusnya. Kosakata sebanyak 19 yang diujikan, rata-rata penguasaan hanya 37,32%, penyusutan Leksikon pronomina raja/ adat di Padangsidimpuan sebesar 62,68%.
7. Leksikon bahasa adat yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2361 orang saja dari 9360 jawaban yang seharusnya, dari 39 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan pemahaman remaja hanya 25,22%, dengan penyusutan Leksikon bahasa adat di Padangsidimpuan sebesar 74,78%.
8. Keseluruhan pemahaman leksikon ukuran waktu/ cuaca yang dipahami 2464 remaja saja dari 3600 jawaban. kosakata yang diujikan 15, rata-rata penguasaan 68,44%, dengan demikian penyusutan di Padangsidimpuan sebesar 31,56%.
9. Keseluruhan pemahaman Leksikon penunjuk tempat/ arah yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 2008 orang dari 3120 orang jawaban yang seharusnya, dari 13 kosakata yang diujikan rata-rata penguasaan hanya 64,35%. penyusutan leksikon penunjuk tempat/ arah di Padangsidimpuan sebesar 35,65%.
10. Leksikon perhitungan/ angka yang dipahami konsepsinya sebanyak 3733 orang dari 5520 jawaban responden yang seharusnya, dari 23 kosakata rata-rata penguasaan hanya 67,62%, dengan penyusutan leksikon perhitungan/ angka di Padangsidimpuan sebesar 32,38%.
11. Pemahaman leksikon ukuran sifat sebanyak 1023 orang dari 2160 jawaban, dari 9 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan hanya 47,36%, dengan penyusutan leksikon ukuran sifat di Padangsidimpuan sebesar 52,64%.
12. Keseluruhan pemahaman leksikon ukuran bentuk yang dipahami sebanyak 577 orang dari 1200 jawaban, dengan 5 kosakata yang diujikan, rata-rata penguasaan 48,08%, penyusutan konsepsi leksikon ukuran bentuk sebesar 51,92%.
13. Leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan yang dapat dipahami konsepsinya sebanyak 574 orang dari 1920 jawaban remaja yang seharusnya. Kosakata yang diujikan hanya 8, rata-rata penguasaan 29,89%. Penyusutan leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan di Padangsidimpuan sebesar 57,58%.
14. Pemahaman leksikon hewan sebanyak 1374 orang dari 2640 jawaban, dari 11 kosakata yang diujikan, rata-rata 52,04%, penyusutan leksikon hewan di Padangsidimpuan sebesar 47,96%.
15. Leksikon jenis warna yang dipahami konsepsinya sebanyak 288 orang dari 720 jawaban, rata-rata penguasaan leksikal jenis warna 40,002%. Penyusutan pemahaman leksikon jenis warna di Padangsidimpuan sebesar 60,00%.
16. Secara keseluruhan pemahaman leksikon pada frase dan klausa yang dipahami konsepsinya 995 orang dari 5280 jawaban yang seharusnya. kosakata yang diujikan 22 dengan rata-rata penguasaan 18,84%. penyusutan pemahaman leksikon pada frase dan klausa di Padangsidimpuan sebesar 81,16%.

KEGUNDAHAN ARIFIN C. NOER MELIHAT REALITAS SOSIAL DIEJAWANTAHKAN MELALUI KONFLIK BATIN TOKOH

Minggu, 22 Mei 2011

REVITALISASI TRADISI LISAN PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT TAPANULI SELATAN ”Pemahaman Leksikon: Remaja di Padangsidimpuan”

Yusni Khairul Amri
STKIP Tapanuli Selatan Padangsidimpuan
Abstract
The research is focus a on the oral tradition performed use in the traditional wedding ceremony in the South of Tapanuli. There are three problems discused in this research. The first is the oral tradition applied in the traditional wedding ceremony. The second, to know decreased of understanding the lexical meaning conception used in traditional wedding ceremony based on ecolinguistics theory and caused the descrease of understanding it and the result of the research also can beexpediented to rentalization the culture it self. The third, the oral tradition on the traditional wedding ceremony after it was break opened has estetic values and moral massages showed well-manner and politeness that implicating to relationship values to avoid a conflict in South Tapanuli (Angkola, Mandailing, and Batak). Collecting data primer was done by recording from traditional wedding ceremony and secundary data was taken by depth interview with subject of the research and other samples. The data primer collected and classified based on ecolinguistics prosedure. From the classified was taken 16 kinds, resulting 272 lexicon, then the lexicon was shared to 240 respondent representative 40 samples a district in Padangsidimpuan. The test result of understanding is happened descreasing of lexicon ecolingistics conception among young generation. To know the reason why it is happened, the writer had interviewing students figure and lead of group, culture institution and also representative of educated government institution. The result of interviewing become and action foward to oral revitalitation on the culture that is descreasing in young generation community as heir the culture

Key words : oral traditions – ecolinguistics – lexicon – values – revitalitation

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Adat istiadat merupakan warisan leluhur yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena adat istiadat merupakan tatanan yang mengatur kehidupan di masyarakat secara turun temurun. Masyarakat yang beradat lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Begitu pula adat istiadat yang masih dipakai masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, begitu pula khususnya di Tapanuli Selatan.
Pada prosesi pelaksanaan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, tokoh adat selalu menggunakan media bahasa yang disampaikan secara lisan. Tradisi lisan dilakukan pada upacara perkawinan adat, di samping persyaratan adat yang harus dipenuhi agar upacara adat tersebut dapat terselenggara. Tradisi lisan pada upacara adat merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh komunitas adat untuk menyampaikan maksud sesuai dengan bahasa adat dan aturan adat yang berlaku. Tradisi lisan itu terwujud melalui leksikon-leksikon adat.
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang . Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat sebagai pengetahuan pada masa kini dan yang akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan.
Adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan pada khususnya dan budaya Batak pada umumnya melakukan prosesi upacara perkawinan adat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan di Tapanuli Selatan dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilakukannya upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan seperti: martahi, panaek gondang, tu tapian raya bangunan magupa, haroan boru, malehen mangan, dan lain-lain.
Ada indikasi bahwa, pengetahuan masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan, sehingga tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola, dan Batak) kian terabaikan. Padahal bila dikaji dan analisis, leksikon yang digunakan dalam tradisi lisan tersebut mengandung kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofis adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat. Karena tidak dipelajari, adat istiadat yang mengandung nilai-nilai tradisi dan kaya makna itu, menjadi terlupakan. Akibatnya generasi muda Mandailing/ Tapanuli Selatan pun berpaling kepada nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (Nasution, 2005; 483).
Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Sinar (2010: 70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”, bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional yang semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”.
Begitu pula pemikiran Nasution, “Tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat digusur demi pembangunan (2005: 485). Hal ini sesuai dengan pendapat Adisaputra (2010: 57) bahwa, kondisi ekologi yang berubah, maka sejumlah entitas akan mengalami perubahan, penyusutan dan bahkan hilang sama sekali. Akibatnya, pada sejumlah leksikal yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikal yang fungsional untuk digunakan. Pada kondisi ekologi yang berubah, maka sejumlah entitas pun akan mengalami perubahan, penyusutan atau bahkan hilang sama sekali. Akibatnya, sejumlah leksikal akan hilang dalam alam pikiran penutur. Konseptualisasi penutur dunia juga akan berubah sesuai dengan perubahan sosial ekologis mereka.
Bila pembangunan yang dilaksanakan tidak mempertimbangkan sistem ekologi lingkungan, maka akan berdampak pada kepunahan habitat di lingkungan tersebut. Dengan demikian, leksikal yang digunakan untuk habitat itu pun dengan sendirinya akan hilang. Untuk itu, perlu tindakan prepentif yang ditegaskan oleh Haugenian, bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa.(Fill, 2001: 44).
Penghilangan leksikal akan berpengaruh pada kelangsungan tradisi adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan/ Mandailing, yang hanya dikenal di daerah yang hanya pada komunitas pemakainya. Sebaliknya generasi muda sebagai penerus budaya daerah Tapanuli Selatan/ Mandailing belum berkeinginan untuk mempelajari tradisi lisan, karena belum memahami leksikon yang digunakan pada tradisi lisan tersebut.
Lebih memprihatinkan lagi yang disebutkan Dalimunthe dalam Nasution, (2005: xiii), “Sekarang bukan hanya generasi muda/ remaja saja yang tidak memahami adat/ budayanya, tetapi tidak sedikit pula orang tua telah melupakan jati dirinya yang berbudaya khas.
Adisaputra (2009: 24) menjelaskan, penyusutan konsepsi leksikal pada penutur bahasa generasi baru, yaitu komunitas remaja pada aspek sosial, dinamika kehidupan komunitas remaja ditandai oleh adanya paradigma baru yang tidak berakar dari budaya tradisi. Penyusutan konsepsi leksikal tentang dunia sekitar ataupun tercerabutnya akar budaya tradisi pada komunitas remaja menyebabkan penurunan kualitas hidup secara sosiobudaya.
Lubis (2001) menyebutkan, pada masa ini sebagian besar orang Mandailing/ Tapanuli Selatan yang lahir tahun 1940-an tidak banyak mengenal sepenuhnya kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan dan generasi keturunan mereka sekarang ini lebih tidak mengenal lagi kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan, dari kedua generasi tersebut ternyata pula tidak banyak yang sungguh-sungguh memperdulikan kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan dan kondisinya yang terus menerus mengalami erosi. Dalam keadaan yang demikian itu banyak diantara bagian-bagian penting dari kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan yang punah sama sekali, misalnya hata andung, hata sibaso, hata parkapur, dan hata teas dohot jampolak, yang masih dipakai hata somal, demikian juga gordang sambilan, gordang dua, dan juga sastra lisan.
Berkaitan dengan kenyataan yang sebutkan di atas mengundang perlunya peneliti untuk melakukan penelitian revitalisasi bahasa tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, kajian ini merupakan perpaduan antara dua pendekatan yaitu pendekatan tradisi lisan dengan ekolinguistik, hal ini disebabkan bahwa setiap terjadinya penyusutan baik leksikon bahasa maupun dalam peristiwa tradisi itu sendiri merupakan peristiwa ekologi yang menyebabkan perubahan pada bahasa yang digunakan.
1.2 Teori, Metode, dan Pendekatan
Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Roger Tol dan Prudentia (1995: 2) dalam B. H. Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni: Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store complete indegeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication. Djuweng (2008:157) menyatakan, tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu
Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Prudentia 2010).
Sumber utama kajiannya adalah penutur, pembawa, atau nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini tradisi lisan.
Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal atau Local Wisdom memungkinkan masyarakat bersangkutan memahami alam dan lingkungannya
Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh Raja Panusunan Bulung (Ompungi/ oppui Sian Bagas Godang) melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama.
Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara perkawinan adat). Sehingga tak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan berbicara pada acara adat istiadat tersebut, ia merasa kurang dihargai. Oleh karena itu, penguasaan tradisi lisan dan leksikon adat sangat menentukan penghargaan masyarakat terhadap personal yang memiliki pemahaman adat istiadat.
Penegasan pentingnya memahami leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara adat istiadat sebagai warisan budaya, disebabkan leksikon yang digunakan pada tradisi lisan mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin pada budaya adat, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai sastra yang estetis seta nilai-nilai lainnya.
Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan kemudian yang dianalisis adalah leksikon-leksikon pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dengan pendekatan ekolinguistik kemudian diklasifikasikan atas leksikon yang berasal dari ekologi dan linguistik. Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Sebab, tidak dikuasai lagi sejumlah leksikon oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian unsur sosial budaya dan sosial-ekologi pada komunitas itu. Lauder menyebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, termasuk di dalamnya berbagai kearifan mengenai lingkungan (Lauder, 2006 : 6).
Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: pelindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan.
Upacara perkawinan adat rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama.
Jenis-jenis Upacara Adat Istiadat Tapanuli Selatan (upacara adat istiadat Mandailing) pada budaya mandailing seperti: 1) Horja Siriaon; 2) Tahi Godang; 3) Manganaekkon Gondang; 4. Pajongjong Mandera; 5) Maralok-alok; 6) Manortor; 7) Mambaca goar; 8) Patuaekkon; 9) Mangupa; 10. dan lain-lain.(Ritonga dan Azhar, 2002: 64-105)
Pelaksanaan upacara perkawinan adat menurut Pandapotan Nasution ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu: a. Acara di rumah Boru Na Ni Oli (pabuat boru) seperti: 1) manyapai boru, 2) mangaririt boru, 3) padamos hata, 4) patobang hata. b. Manulak sere; c. Mangalehen mangan pamunan; d. Acara pernikahan. e. Horja Haroan Boru seperti: 1) marpokat haroan boru, 2) Mangalo-alo boru, 3) pataon raja-raja dan koum sisolkot, 4) panaek gondang. Seremonial upacara adat seperti: 1) Membawa pengantin ke Tapian Raya Bangunan, 2) Mangalehen Gorar (menabalkan gelar adat), dan 3) Mangupa. (2005: 270-413)
Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda kebesaran adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara perkawinan adat dapat diselenggarakan sebagai suatu perayaan atau upacara adat lainnya. Adat dan paradatan merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim menurut sidang adat.
Pesta perkawinan merupakan horja siriaon, dilakukan bergantung kepada binatang adat (kerbau dan kambing) yang akan dipotong. Untuk horja godang (pesta adat besar) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing, bila horja menek (pesta adat kecil) maka yang akan disembelih adalah seekor kambing.
Dalihan secara etimologi berarti ”tungku” Tolu berarti ”tiga”, dalihan biasanya terbuat dari batu dengan ukuran yang sama, kalau besar dan panjangnya tidak sama maka tungku itu tidak berfungsi sebagai mana mestinya (Ritonga dan Azhar, 2002: 8). Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Mandailing mengandung arti, tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Dalam upacara-upacara adat lembaga Dalihan Na Tolu ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan. Dalihan Na Tolu yang terdiri dari 3 (tiga) unsur tersebut terdiri dari kelompok: a) Suhut dan kahangginya; b) Anak boru; c) Mora. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) dimensi dalam kedudukannya sebagai unsur Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itulah orang Tapanuli Selatan/ Mandailing, ’Batak’ dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan.
Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Jadi pendekatan ekolinguistik digunakan dalam penelitian ini, karena konsep-konsep ekologis dalam bahasa adat istiadat Tapanuli Selatan akan tersingkap. Lebih luas lagi, konsep-konsep sosialkultural, historis demografis, filosofis religius, dan kolektif keetnikan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan secara keseluruhan akan tergambar.
Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000), mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.
Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology’.
Demikian pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan
Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (p.2)
Kajian ekolinguistik menghubungkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis dalam bahasa hubungan ketiga model tersebut dapat digambarkan menurut model Bang & Døør’s (1995: 47) dialoque Model dalam Jeppe Bundsgaard & Sune Steffensen (2000: 10)
Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia dengan alam di lingkungan itu.
Kondisi ini pada akhirnya mempengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan leksikon bahasa tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Jikalau masyarakat Tapanuli Selatan sebagai penutur asli memahami makna leksikon yang digunakan pada upacara adat perkawinan dengan menggunakan leksikon yang berasal tetumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di lingkungan. Seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang berkaitan dengan kehidupan di lingkungan.
Dengan demikian, telah terjadi pula penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan atau benda-benda alam di luat-luat Tapanuli Selatan nyaris tidak dikenali lagi oleh genarasi muda Tapanuli Selatan.
Pendekatan kualitatif yang dilakukan di dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi secara emik dari informan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan, mengumpulkan data leksikon.. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang temuan¬-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Tetapi penelitian ini merupakan penelitian bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian ini merupakan penelitian kaji tindak yang bertujuan untuk menjawab berbagai persoalan yang diangkat dalam penelitian ini secara mendalam. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Smith dan Cormaek dalam Moleong (2005: 239) menjelaskan bahwa penelitian kaji tindak sebagai proses untuk memperoleh hasil perubahan dan memanfaatkan hasil perubahan yang diperoleh dalam penelitian ini.
Penelitian kaji tindak adalah cara melakukan penelitian dan berupaya bekerja untuk memecahkan masalah pada saat yang bersamaan. Pendekatan yang dilakukan untuk pengukuran dasar dengan memanfaatkan pengamatan, pengumpulan data, wawancara, dan kuesioner. Hasil analisis data dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan maka, rancangan penelitian ini menganut perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Sejalan dengan penjelasan di atas Sudaryanto menjelaskan (1993), penelitian sangat terkait dengan teknik-teknik survey sosial seperti: wawancara terstruktur dan kuesioner-kuesioner yang tersusun,eksperimen, observasi terstruktur, analisis isi, analisis statistik formal dan sebagainya.
Mensinergiskan kedua pendekatan ini dengan maksud memperkecil bias penelitian dan memantapkan triangulasi untuk pengumpulan data. Triangulasi bersumber tentang multiple operationism yang mengasumsikan sahihnya suatu temuan dan tingkat konfidensinya akan dipertinggi dengan pemakaian lebih dari satu pendekatan (Brannen, 1997). Kedua data primer dan data sekunder, data sekunder diperoleh memalui wawancara dengan raja-raja, pelaku adat, tokoh masyarakat, responden, sumber tertulis, dan data kependudukan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padangsidimpuan.

2 Pembahasan dan Temuan
2.1 Penyusutan leksikon pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan
Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering satu hari saja.
Faktor penyebabnya adalah agama, finansial, dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan. Begitu juga terjadinya penurunan jumlah pelaku adat dan komunitas adat, akibatnya remaja sebagai pewaris adat mulai menjauh dari adat, karena terjadi penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat.
Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 272 kata. Analisis data setelah diklasifikasi sebanyak 16 kelompok yaitu: 1) leksikon tumbuh-tumbuhan; 2) leksikon alam; 3) leksikon alat musik; 4) leksikon pronomina; 5) leksikon pronominal kekerabatan; 6) lesikon pronomina raja/ adat; 7) leksikon bahasa adat; 8) leksikon ukuran waktu; 9) leksikon ukuran tempat dan arah; 10) leksikon penghitungan/ angka; 11) leksikon ukuran sifat; 12) leksikon ukuran bentuk; 13) leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan; 14) leksikon hewan; 15) leksikon warna; dan 16) leksikon tumbuhan pada frase dan klausa. Kemudian diujikan kepada remaja sebanyak 240 orang dengan 40 orang di setiap kecamatan Kota Padangsidimpuan, dengan hasil sebagai berikut:
Penyusutan 23 leksikon tumbuh-tumbuhan sebesar 57,58%, penyusutan leksikon alam 51,07%, sebesar 87,50% penyusutan leksikon alat musik tradisional, penyusutan leksikon pronomina sebesar 44,86%, penyusutan leksikon pronomina kekerabatan sebesar 55,21%, penyusutan leksikon pronomina raja/ adat sebesar 62,68%, penyusutan leksikon bahasa adat sebesar 74,78%, penyusutan pemahaman leksikon ukuran waktu/ sebesar 31,56%, penyusutan leksikon penunjuk tempat/ arah sebesar 35,65%, penyusutan leksikon perhitungan/ angka sebesar 32,38%, penyusutan leksikon ukuran sifat sebesar 52,64%, penyusutan konsepsi leksikon ukuran bentuk sebesar 51,92%. Penyusutan leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan sebesar 57,58%, penyusutan leksikon hewan sebesar 47,96%, penyusutan pemahaman leksikon jenis warna sebesar 60,00%, dan penyusutan pemahaman leksikon pada frase dan klausa sebesar 81,16%.
Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan/ kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja lebih menyenangi musik pop (modern) daripada musik tradisional. Remaja jarang mendengar leksikon pronomina dan tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.
Faktor eksternal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di kota Padangsidimpuan ada beberapa faktor, seperti: ketua adat (pelaku adat) belum maksimal mengajari adat, lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, remaja tidak mengenal benda-benda adat yang dipakai pada upacara adat, remaja tidak pernah manortor sehingga tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional yang dipakai mengiringinya begitu pula buku-buku berbahasa daerah jarang terbit.
Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat, perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah, remaja kurang dekat dengan lingkungan alam, karena kegiatan sehari-hari dihabiskan di sekolah, dan pemerintah belum memasukkan kurikulum bahasa daerah ke jenjang SMP/MTS, SMA/SMK/MA, kurikulum untuk muatan lokal (bahasa daerah) hanya pada SD (Sekolah Dasar).
Nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan pada upacara perkawinan, unsur nilai tradisi lisan yang terkandung dalam penelitian ini memiliki nilai kearifan gotong royong, nilai kerukunan, nilai keikhlasan bekerja (tanpa pamrih), nilai identitas dalihan na tolu sebagai penguat, dalam mencegah konflik, nilai kekerabatan pada upacara perkawinan adat pada nasihat, manat markahanggi, elek maranak boru, dan somba marmora.
Nilai estetis leksikon kata-kata nasihat tradisi lisan pada upacara perkawinan adat bila diretas banyak leksikon dan kata-kata bijak yang bermakna tinggi yang memiliki nilai-nilai estetis seperti, “lek panghulu pamarai di lombang ni sitaloto, disurdu on do mon disapai rajai na mamboto,” kerendahan hati orang kaya ketika bertanya kepada raja panusunan bulung,
Nilai kesantunan berbahasa adat memiliki nilai-nilai estetis, nilai penghormatan kepada hadirin dan kerendahan hati, karena setiap memulai dengan kalimat pembuka dengan mengucapkan salam, “Assalamualaikum hata ni agama sattabi sapulu, sapulu noli au marsattabi hata ni adat.” Penghormatan itu menunjukkan kesantunan guyub tutur adat, menunjuk kerendahan hati, sebagai sikap yang tetap menjaga hubungan antara sesama guyub tutur (manusia), begitu pula tetap menjaga hubungan dengan pencipta (Sang Khalik).
Nilai penghormatan yang kedua tetap disampaikan oleh pelaku adat ketika membuka salam kepada hadirin yang berada pada upacara perkawinan adat tersebut, wujud penghormatan kepada hadirin diawali dengan penyampaian kalimat, “… bahat hormat, ima tu anak ni raja songoni tu anak ni mora, surung u pa lobi ima tu oppui sian bagas…” (yang dihormati kepada anak-anak raja dan bangsawan, terutama kepada raja dari istana), wujud penghormatan tokoh-tokoh adat dengan mengucapkan kalimat di atas kepada guyub tutur adat tersebut, bahwa siapapun yang hadir dianggap sebagai anak-anak raja dan anak bangsawan. Nilai-nilai estetis kerendahan hati dan penghormatan tersebut menunjukkan kesantunan berbahasa pada guyub tutur masyarakat adat Tapanuli Selatan.
Nilai estetis kata-kata nasihat agar perkawinan itu menjadi perkawinan seumur hidup. seperti nasihat berikut: “…Pasada ma rohamu inang, inda tola dipadua.” Nilai estetis nasihat yang berharap agar kedua mempelai dijauhkan dari mara bahaya, hal ini disampaikan oleh Raja Pamusuk pada tradisi lisan seperti, “…Pitu cundut sai soada mara, horaskon (menyerukan). Nilai estetis nasihat yang memiliki harapan, tidak saja kepada kedua mempelai tetapi juga kepada anak-anak yang masih dalam gendongan ibunya juga turut di pangir oleh tetua adat, dengan leksikon adat seperti, (pindah ke ibu-ibu yang menggendong bayi) ,”…Pir tondi matogu horaskon (menyerukan dan memangirkan bayi digendongan) Horas…horas…horas… Horas, pir tondi matogu. Sotubu mora haka gabe, selamat sepanjang umur.” Panusunan Bulung dengan nasihat, “Sada, dua, tolu lolot jolo umurmu na mangolu.” Masyarakat adat juga menyadari bahwa kedekatan manusia dengan Sang Khalik, disampaikan pada nasihat adat, agar kedua mempelai mendapat umur yang panjang.
Perumpamaan pada hapantunon pada contoh di bawah perumpamaan /ulang ma baen songon kotok batang matua tanggung// ulang ma suhut matua tanggung// ulang ma janggal mata dohot modom// ulang maila udang dohot during// alak pe dapot janggal dibaen ko, alak marnyae sampe lungun// lalu marusu inang-inangon// Tai baen dison do oppu ni kotuk panguaran bisuk antong dison pe anak ni raja anak ni namora u helpaskon mada tu ibana.
Makna perumapamaan pada tradisi lisan tersebut, memiliki nilai-nilai estetis, yang memberikan metafor dengan lingkungan alam seperti tupai dengan dahan, mata dengan tidur, udang dengan during, sakit karena rindu, jangan anggap tuan rumah belum dewasa. Padahal kedua pertentangan makna yang diumpamakan padahal keduanya memiliki hubungan makna yang cukup dekat, nilai estetis perumpamaan untuk menyatakan kerendahan hatinya.
Upaya yang dapat dilakukan adalah pemeliharaan dan penguatan karena seremonial upacara perkawinan adat dapat dipertahankan. Tradisi ini masih berfungsi sebagai perekat persaudaraan sesama guyub tutur adat, maka upaya upaya pemberdayaan dan penguatan eksistensi tradisi lisan tersebut agar tetap terpelihara keasriannya, walaupun mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan kebutuhan komunitas adat dengan mempertimbangkan efektifitas dan kemanfaatan dari tradisi lisan tersebut. sedangkan pesan penting yang termaktub di dalam seremonial adat sebagai kekayaan budaya lokal, masih tetap ada di tengah masyarakat adat.
Elek maranak boru (Tabel 17 Q, no 10) memiliki nilai kearifan lokal menjaga kerukunan antar masyarakat Tapanuli Selatan dan Batak, karena mora ditempatkan sebagai orang yang ditempatkan memiliki nilai harkat tinggi (sahala tondi) tidak bisa semena-mena menganggap dan memperlakukan dibarisan anak borunya, tetapi mora harus pandai-pandai mengambil hati anak boru. Mora harus menyadari bila anak boru tidak melakukan pekerjaannya, maka seluruh upacara perkawinan adat tidak akan terlaksana dengan baik, bahkan gagal.
Anak boru harus somba marmora agar kehidupan yang diciptakan harmonis di antara unsur tersebut. Nilai kearifan lokal pada upacara perkawinan adat, terbias melalui kata-kata nasihat somba marmora (Tabel 17 Q, no 11). Manat-manat ma ho markahanggi, (hati-hati, tenggang rasa dengan saudara semarga) kemudian, elek ma ho maranak (tabel 2 B1. 6), anak boru harus somba marmora agar kehidupan yang diciptakan harmonis di antara unsur tersebut. Nilai kearifan lokal kekerabatan pada tradisi lisan upacara perkawinan adat, terbias melalui kata-kata nasihat somba marmora (Tabel 17 Q, No. 11). Sehingga nilai-nilai kekerabatan tersebut terpatri pada jiwa hampir setiap orang Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola, dan Batak). Dengan demikian nilai-nilai kekerabatan tetap terjaga apalagi unsur-unsur dalihan na tolu tetap menjaga tatanan itu terus jaga hingga kini.
2.2. Temuan pada Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan
Pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan ditemukan penyebutan pronomina untuk raja adat sebanyak 14 sebutan, dan sebutan tersebut diucapkan oleh seluruh elemen dalihan na tolu, hatobangon, dan pelaku adat, sebutan untuk raja tersebut antara lain:
1. amang raja
2. amang raja nami
3. amang raja nami, raja bolon
4. raja bolon
5. amatta raja
6. amatta raja sian bagas godang
7. oppui RAJA ADAT
8. oppui sian bagas godang
9. raja Panusunan Bulung
10. tu rajai, ongku raja pinaing
11. Rajai, raja bolon
12. raja di luaton
13.raja pangundian
14.raja pamusuk
Gambar Penyebutan pronomina raja adat pada tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan

2.3 Revitalisasi dan Pelestarian Tradisi Lisan pada Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan
Pelestarian berarti tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, bertahan kekal atau pelestarian dapat juga berarti: (1) proses, cara, perbuatan melestarikan; (2) perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan, pengawetan, konservasi; (3) pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pelestarian tradisi lisan upacara perkawinan adat merupakan suatu perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan atau bahkan hilangnya suatu tradisi dari komunitasnya.
Pemeliharaan dan penguatan karena seremonial upacara perkawinan adat dapat dipertahankan. Bila komunitas adat menganggap tradisi lisan pada upacara adat perkawinan masih layak digunakan untuk upacara perkawinan adat, sehingga intensitas pemakaiannya cukup bermasyarakat komunitas adat.
Dengan kata lain, tradisi ini masih berfungsi sebagai perekat persaudaraan sesama guyub tutur adat, maka upaya yang paling tepat adalah revitalisasi, jika tradisi itu dikhawatirkan hilang atau tidak dikenali lagi oleh generasi muda pada masyarakat adat, khususnya remaja dengan dasar keyakinan bahwa setelah dilakukan upaya revitalisasi tradisi itu dapat tumbuh subur, bila tradisi lisan tersebut masih digunakan oleh komunitas adatnya maka tindakan yang perlu dilakukan hanyalah dilakukan upaya pemberdayaan dan penguatan eksistensi tradisi lisan tersebut agar tetap terpelihara keasriannya.
Tradisi lisan tersebut, perlu dilestarikan dan dihadirkan kembali agar tradisi ini masuk kembali ke masa kini (transformasi) dengan membawa nilai-nilai tradisi. Kemudian, pelestarian tersebut diapresiasi dengan tetap mempertahankan keasliannya oleh masyarakat adat, untuk tetap menjaga nilai-nilai lokal yang dapat menunjukkan kekhasan etnik yang unik dan penting tetap terjaga. Bila perlu tradisi ini dijadikan contoh untuk dihadirkan kembali di luar komunitas etnik tersebut, sehingga ketika kebudayaan dan tradisi lokal daerah lain memiliki nilai dan daya saing yang tinggi sebagai kekayaan budaya nusantara, mengapa tradisi lisan Tapanuli Selatan tidak.
Upaya revitalisasi tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dengan harapan agar masa yang akan datang tradisi lisan pada upacara perkawinan tetap terjaga, walaupun mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan kebutuhan komunitas adat dengan mempertimbangkan efektifitas dan kemanfaatan dari tradisi lisan tersebut. sedangkan pesan penting yang termaktub di dalam seremonial adat sebagai kekayaan budaya lokal, masih tetap ada. Upaya yang dapat dilakukan adalah pemeliharaan dan penguatan untuk memperkenalkan atau menghidupkan tradisi lisan, ada beberapa upaya revitalisasi yang telah dikemukakan, sesuai dengan jawaban responden ketika diwawancarai, agar remaja lebih dekat dengan budaya kultur yang mencerminkan bahwa remaja sebagai pewaris budaya merasa dekat dengan kultur tersebut.
Model revitalisasi, merupakan upaya untuk memudahkan pelaksanaan langkah-langkah konkret dalam mengejawantahkan seluruh persoalan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, yang semakin jauh dari remaja sebagai pewaris tradisi adat ke generasi berikutnya. Sehingga kekhawatiran tokoh adat, lembaga adat, pelaku adat, pemerintah, dan peneliti/ penulis dapat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing, untuk lebih jelas lihat model revitalisasi berikut.
3 Penutup
Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat. Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering satu hari saja.
Faktor penyebabnya adalah agama, finansial, dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan. Begitu juga terjadinya penurunan jumlah pelaku adat dan komunitas adat, akibatnya remaja sebagai pewaris adat mulai menjauh dari adat, karena terjadi penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat.
Kedua, Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 272 kata. Analisis data setelah diklasifikasi sebanyak 16 kelompok Kemudian diujikan kepada remaja sebanyak 240 orang dengan 40 orang di setiap kecamatan Kota Padangsidimpuan, dengan hasil sebagai berikut:
Penyusutan 23 leksikon tumbuh-tumbuhan sebesar 57,58%, penyusutan leksikon alam 51,07%, sebesar 87,50% penyusutan leksikon alat musik tradisional, penyusutan leksikon pronomina sebesar 44,86%, penyusutan leksikon pronomina kekerabatan sebesar 55,21%, penyusutan leksikon pronomina raja/ adat sebesar 62,68%, penyusutan leksikon bahasa adat sebesar 74,78%, penyusutan pemahaman leksikon ukuran waktu/ sebesar 31,56%, penyusutan leksikon penunjuk tempat/ arah sebesar 35,65%, penyusutan leksikon perhitungan/ angka sebesar 32,38%, penyusutan leksikon ukuran sifat sebesar 52,64%, penyusutan konsepsi leksikon ukuran bentuk sebesar 51,92%. Penyusutan leksikon ukuran tokoh/ status kekeluargaan sebesar 57,58%, penyusutan leksikon hewan sebesar 47,96%, penyusutan pemahaman leksikon jenis warna sebesar 60,00%, dan penyusutan pemahaman leksikon pada frase dan klausa sebesar 81,16%.
Keempat, penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan/ kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja lebih menyenangi musik pop (modern) daripada musik tradisional. Remaja jarang mendengar leksikon pronomina dan tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.
Faktor eksternal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di kota Padangsidimpuan ada beberapa faktor, seperti: ketua adat (pelaku adat) belum maksimal mengajari adat, lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, remaja tidak mengenal benda-benda adat yang dipakai pada upacara adat, remaja tidak pernah manortor sehingga tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional yang dipakai mengiringinya begitu pula buku-buku berbahasa daerah jarang terbit. Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat, perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah, remaja kurang dekat dengan lingkungan alam, karena kegiatan sehari-hari dihabiskan di sekolah, dan pemerintah belum memasukkan kurikulum bahasa daerah ke jenjang SMP/MTS, SMA/SMK/MA, kurikulum untuk muatan lokal (bahasa daerah) hanya pada SD (Sekolah Dasar).
Kelima, nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan pada upacara perkawinan, unsur nilai tradisi lisan yang terkandung dalam penelitian ini memiliki nilai kearifan gotong royong, nilai kerukunan, nilai keikhlasan bekerja (tanpa pamrih), nilai identitas dalihan na tolu sebagai penguat, dalam mencegah konflik, nilai kekerabatan pada upacara perkawinan adat pada nasihat, manat markahanggi, elek maranak boru, dan somba marmora.
Nilai estetis leksikon kata-kata nasihat tradisi lisan pada upacara perkawinan adat bila diretas banyak leksikon dan kata-kata bijak yang bermakna tinggi yang memiliki nilai-nilai estetis seperti, nilai kerendahan hati, nilai kesantunan, nilai penghormatan, tersebut menunjukkan kesantunan berbahasa pada guyub tutur masyarakat adat Tapanuli Selatan.
Nilai estetis kata-kata nasihat agar perkawinan itu menjadi perkawinan seumur hidup. seperti nasihat berikut: “…Pasada ma rohamu inang, inda tola dipadua.” Nilai estetis nasihat yang berharap agar kedua mempelai dijauhkan dari mara bahaya. Nilai estetis memiliki harapan,”…Pir tondi matogu horaskon (menyerukan dan memangirkan bayi digendongan) Horas…horas…horas… Horas, pir tondi matogu. Sotubu mora haka gabe, selamat sepanjang umur.” Panusunan Bulung dengan nasihat, “Sada, dua, tolu lolot jolo umurmu na mangolu.” Masyarakat adat juga menyadari bahwa kedekatan manusia dengan Sang Khalik, disampaikan pada nasihat adat, agar kedua mempelai mendapat umur yang panjang.
Makna perumapamaan pada tradisi lisan tersebut, memiliki nilai-nilai estetis, yang memberikan metafor dengan lingkungan alam seperti tupai dengan dahan, mata dengan tidur, udang dengan during, sakit karena rindu, jangan anggap tuan rumah belum dewasa. Padahal kedua pertentangan makna yang diumpamakan padahal keduanya memiliki hubungan makna yang cukup dekat, nilai estetis perumpamaan untuk menyatakan kerendahan hatinya.
Tradisi ini masih berfungsi sebagai perekat persaudaraan sesama guyub tutur adat, maka upaya upaya pemberdayaan dan penguatan eksistensi tradisi lisan tersebut agar tetap terpelihara keasriannya, walaupun mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan kebutuhan komunitas adat dengan mempertimbangkan efektifitas dan kemanfaatan dari tradisi lisan tersebut. sedangkan pesan penting yang termaktub di dalam seremonial adat sebagai kekayaan budaya lokal, masih tetap ada di tengah masyarakat adat.


Daftar Pustaka
Adisaputra, Abdurahman. 2010 Ancaman Terhadap Kebertahanan Bahasa Melayu langkat. (disertasi).PPS Universitas Udayana.,Denpasar.
Adler, Patricia A. dan Peter Adler. 1994. "Observational Technique". Handbook of Qualitative Research. Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. London: Sage Publication
Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Editions du Seuil.
Badan Pusat Statistik. Padangsidimpuan dalam Angka 2010. ‘Padangsidimpuan In Figures 2010’.
Bundsgaard Jeppe & Sune Steffensen.2000.”The Dialectics of ecological Morphology –or the Morphology of Dialectics” in Dialectical Ecolinguistics: Three Essays For The Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz Desember 2000. Anna Vibeke Lindø & Jeppe Bundsgaard (eds.).
Brannen, Julia. 1997. Memadu metode penelitian kualitatif dan kuantitatif (Terjemahan N.A Kurde). Yogyakarta: IAIN Antasari dan Pustaka Pelajar.
Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Dediknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Fill, Alwin dan Peter Mühlhäusler, 2001 The Ecolinguistics Reader Language Ecology And Environment. London: Continum.
Gultom, Djaluat Rajamarpodang, 1995. Dalihan Na Tolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak. Medan: Armanda
Halliday, M.A.K, 1978. Language As A Social Semiotics. London : Edward Arnold
Harahap, Basyral Hamidy, 2004, Siala Sampagul. Bandung: Pustaka.(ISBN 979-98049-1-4).
Harahap, Baginda Raja, tanpa tahun, “Poda-podda Ni Adat Horja Godang/ Bolon/ Siluluton/ Siriaon.”
Hasil Musyawarah Lembaga Adat dan Budaya.24-26 Oktober 1996, ”Adat Budaya Angkola-Sipirok-Haruaya Mardomu Bulung Napa-napa Ni Sibualbuali”.
Held, Gudrun. 2005. "Politeness in linguistic research" Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.
Lindo, Anna Vibeke and Jeppe Bundsgaard (eds). 2000. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology.
Lubis, Z. Pangaduan, 2001. “Revitalisasi Kebudayaan Mandailing” (Makalah) Disampaikan pada Seminar Adat Mandailing di Medan, 28 April 2001.
Lyions, John. 1995. Linguistic semantics: an introduction. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Mühlhäusler, Peter. “Ecolinguistics in the University.”
Mühlhäusler, Peter. 1996. Linguistic Ecology Language Ecology and Linguistic Impealism in the Pacific Region. London: Routledge.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nasution H. Pandapotan, 2005. Adat Budaya Mandailing: dalam Tantangan Zaman. Medan: Forkala.
Ricklefs, Robert E. 1976. The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology. New York: Chiron Press Incorporated.
Parsadaan Marga Harahap, 1993, Horja: Adat Istiadat Dalihan Natolu, Jakarta: Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna.
Parlingungan, Mangaraja Onggang. 2007. Tuanku Rao.Yogyakarta: LkiS.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pudentia. 2003. Antologi Prosa Rakyat Melayu Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ritonga, Parlaungan dan Ridwan Azhar, 2002, Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan, Medan: Yandira Agung.
Sibarani, Robert, 2004, Antropolinguistik: Antropologi Linguistik-Linguistik Antropologi, Medan: Penerbit Poda. (ISBN 979-3150-02-5).
_______________, 1997, Leksikograf. Medan: Penerbit Univesrsitas Sumatera Utara.
Soekanto, Soerjono. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sinar, Tengku Silvana, 2010. ”Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan.” Disampaikan dalam Seminar Internasional Seminar Language, Literature, And Culture in Southheast Asia. Diselenggarakan oleh Prodi Linguistik USU dan Phuket Rajabhat University Thailand, Thailand 3-5 Juni 2010.
Siregar Baumi, G. Gelar H. Sutan Tinggibarani, 2009, ”Tutur Poda”, (Naskah stensilan)
______________________________________, 2007, ”Burangir Barita”, (Naskah stensilan)
______________________________________, 1978, ”Mangampar Ruji- Mangkobar Boru”, (Naskah stensilan)
______________________________________, 2005, ”Adat Budaya Tapanuli Selatan”, (Naskah stensilan)
______________________________________, 1996, ”Ruhut-ruhut Ni Adat Paris-paris Ni Paradatan”, (Naskah stensilan)
______________________________________, 1980, ”Horja Godang Magupa Di Na Haroan Boru”, (Naskah stensilan)
______________________________________, 1984, ”Surat Situmbaga Holing Adat Batak- Sipirok- Padang Bolak- Barumun- Mandailing- Batang Natal- Natal”, (Naskah stensilan)
______________________________________dan Pangeran Ritonga, 1986, ”Pabagas Boru”, (Naskah stensilan).
Spradley, James P. Doing Participants Observation. Participants Observation. New York: Holt Rinehart and Winston.1980.
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. 2008.
Tilaar, H. A. R, 2000, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun, 2006, ”Khazanah Adat Budaya Tapanuli Selatan”.
Tutik, Titik Triwulan dan Trianto, 2008. Dimensi Transedental dan Transformasi Sosial Budaya. Jakarta: Lintas Pustaka.
Watts, Richard J., Sachiko Ide, dan Konrad Ehlich. 2005. "Introduction" Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.
Sumber melalui internet:
1. Al Gayoni Yusradi Usman, 2010. Mengenal Ekolinguistik. http://Ekolinguistik. Diunduh 12 Juni 2010.
2. Wikipedia.2009.“Ecolinguistics.”http://en.wikipedia.org/wiki/Ecolinguistics”, diakses 28 September 2010.
3. Wikipedia.2010” ekologi”http://id.wikipedia.org/wiki/Ekologi, diakses 26 Desember, 10:04 PM

Sumber melalui koran:
Sinar, Tengku Silvana, 2010. ”Upaya penelitian dalam merawat Kearifan Lokal.” Harian Analisa Medan. 7 Februari 2010.

wawancara

Tentang Penulis

YUSNI KHAIRUL AMRI, lahir di Medan, 22 April 1967 adalah pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, STKIP ’Tapanuli Selatan’ Padangsidimpuan. Pendidikan S1 FPBS IKIP Medan, Program Magister Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Alamat Jln. SM. Raja/ Makmur Gg. Sibaganding No.5. Padangsidimpuan Selatan, Sumatera Utara. Tel. 0364– 25156 Hp. 081361686498.

tradisi lisan

2.5 Tradisi Lisan.
Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan B. H. Hoed (2008:184), lebih jauh Roger Tol dan Prudentia (1995 :2) dalam B. H. Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni
Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store complete indegeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication.

Tradisi lisan dengan demikian menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dlam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu Stevanus Djuweng (2008:157).
Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan.
Tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, hasil seni, dan upacara adat.
Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.
Sebagai sumber sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi. Tetapi, tradisi lisan janganlah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah ‘boleh’ berubah yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Sudut pandang seperti ini akan mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan seperti yang telah diungkapkan, sehingga sejarah kegemilangan masa lalunya saja, tanpa dapat mengaktualkannya dalam situasi masa kini
Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya.
Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan direvitalisasi, atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.
Sumber utama kajiannya adalah penutur, pembawa, atau nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini
Dalam tradisi lisan antara produk budaya dan masyarakat penghasilnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan; sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi komunitas tersebut
Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal atau Local Wisdom memungkinkan masyarakat bersangkutan memahami alam dan lingkungannya
Begitu pula tradisi Lisan di Tapanuli Selatan, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun. Tradisi lisan ini memiliki tatanan aturan yang tertib yang dipimpin oleh Orang Kaya yang berfungsi sebagai moderator (MC ’Master of Ceremonial) jalannya upacara adat istiadat tersebut. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh Raja Panusunan Bulung, yang sebelumnya telah diminta pendapat masing-masing elemen adat ’dalihan na Tolu’ yang telah ditentukan sesuai dengan tuturan dan berada pada pihak mempelai laki-laki atau mempelai perempuan.
Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh Raja Panusunan Bulung (Ompungi/ oppui Sian Bagas Godang) melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama. Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara perkawinan adat). Sehingga tak jarang sesorang yang tidak diberi kesempakan berbicara pada acara adat istiadat tersebut ianya merasa kurang dihargai. Oleh karena itu, peguasaan tradisi lisan dan leksikon adat sangat menentukan penghargaan masyarakat terhadap personal yang memiliki pemahaman adat istiadat.
Penegasan pentingnya memahami leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara adat istiadat sebagai warisan budaya, disebabkan terjadinya perubahan masyarakat modern yang merupakan perluasan dari tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai filosofis, budaya, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai sastra yang estetis seta nilai-nilai lainnya.
Hal ini menurut Fortes dalam Tilaar, dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati, yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan/ diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide.(2000: 54-55). Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau Local Wisdom dan berusaha untuk memahami Tradisi lisan.
Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan kemudian yang dianalisis adalah leksikon-leksikon pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, dengan pendekatan ekolinguistik kemudian diklasifikasikan atas leksikon yang berasal dari ekologi dan linguistik. Karena ekolinguistik mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik. Sebab, perubahan sosio-ekologis sangat mempengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai budaya dalam sebuah masyarakat (Al Gayoni, 2010:1).
Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Sebab, tidak dikuasai lagi sejumlah leksikon oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian unsur sosial budaya dan sosial-ekologi pada komunitas itu.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan budaya (dari budaya tradisional ke budaya modern) atau perubahan suatu kawasan (dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan) atau dari kawasan pemukiman menjadi kawasan kosong seperti daerah kawasan Apabila hal ini berlanjut, tentu akan mengakibatkan ikan yang dulunya hidup menjadi mati, berbagai rumput yang hidup akan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan hilangnya beberapa ikon leksikal (Adisaputra, 2010:11). Penyusutan atau kepunahan unsur alam maupun unsur budaya akan berdampak pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu.
Sejalan dengan pendapat Adisaputra, Lauder menyebutkan bahwa punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, termasuk di dalamnya berbagai kearifan mengenai lingkungan (Lauder, 2006 : 6).
Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: pelindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan.